Kerinduan pada seorang kawan lama di lembaga MCS Coremap Phase II Kabupaten Kepulauan Selayar bernama St. Mewah yang kesehariannya aktif bertugas sebagai seorang fasilitator MCS Coremap di Desa Batu Bingkung membawa langkah kakiku untuk singgah dan mengetuk sebuah bangunan rumah batu berukuran sederhana di Dusun Limbo.
Ku ketuk pintu rumah sembari mengucapkan salam, Assalamu Alaikum…,Wa Alaikum Salam…terdengar jawaban dari si empunya rumah. Sampai sejurus kemudian, pintu rumah terbuka perlahan.
Dari balik daun pintu terlihat se sosok wajah yang tak lagi asing bagiku, yah…St. Mewah, sobat lamaku yang langsung mempersilahkan aku masuk dan menduduki kursi plastik warna pink.
kurongoh saku celanaku sembari mengeluarkan bungkusan rokok Class Mild yang selalu setia menemani perjalanan liputanku. Kubakar ujung depannya dengan macis (korek, red), sambil mengarahkan mataku mencari asbak di sekitar ruang tamu.
Pada saat bersamaan, mataku tertuju pada sebuah benda berbentuk piring berwarna kuning keemasan yang sudah kusam menandakan, bila tersebut sudah berusia lebih dari puluhan tahun.
Sejenak, kutertegun menatapi benda yang terpampang dihadapanku. Hati kecilku berkata, benda tersebut adalah benda cagar budaya yang oleh ahli arkeologi kerap diistilahkan dengan BCB.
Ku ayunkan salah satu jari tanganku sambil mengetuk pinggiran benda menyerupai piring yang ada dihadapanku untuk memastikan bila benda itu, adalah benda cagar budaya.
Kuangkat, lalu ku amati bagian pantat bawah benda tersebut secara seksama. Kendati warnanya mulai kusam, namun masih tersisa warna kuning ke emasan yang menjadi cirri khas benda-benda peninggalan keluarga raja di masa lampau.
Setelah segalanya kuanggap pasti, tanganku kembali berkelebat merongoh saku celana yang kukenakan hari itu sembari mengeluarkan camera digitalku. Insting dan kepekaan Jurnalistikku seakan menjadi mahgnit penggerak untuk aku mengabadikan foto benda yang kuyakini sebagai benda cagar budaya tersebut.
Sambil berbincang, mataku ku arahkan pada jam dinding yang telah menunjukkan pukul 11. 30 WITA, pertanda waktu sholat Jum’at kian dekat. Usai ngobrol ngolor ngidul, akupun berpamitan dan melangkah meninggalkan rumah sahabat lamaku, dan selanjutnya menuju Masjid untuk menunaikan shalat Jum’at.
Usai menunaikan shalat Jum’at, aku mulai berkemas melakukan persiapan kegiatan liputan ke Pulau Jinato, tempat dipusatkannya event Takabonerate Island Expedition III.
Tanpa kusadari, bahwa kepadatan agenda liputan dan wawancara dalam kurun waktu satu bulan terakhir, membuat aku nyaris tak punya waktu untuk mencuci pakaian yang satu persatu mulai kotor terpakai.
Sampai akhirny, keberangkatanku kali ini harus membawa setumpuk pakaian basah yang belum sempat kering, lantaran hujan yang tiba-tiba mengguyur langit Bonerate.
Beruntung, hujan keras yang disertai tiupan angin kencang menjelang keberangkatanku meninggalkan Pulau Bonerate menuju Pulau Jinato, ternyata tidak sempat mempengaruhi kondisi cuaca di sepanjang perjalanan menuju lokasi penyelenggaraan Takabonerate Island Expedition III.
Kondisi cuaca yang lumayan bersahabat, membuat aku begitu menikmati perjalanan panjang dengan menumpangi kapal motor Jabal Rahma. Satu per satu pulau terlampaui.
Sampai sejurus kemudian, mataku tertuju pada pemandangan gugusan pulau Pasitallu yang begitu mempesona. Terlebih, disaat matahari mulai terbenam di atas langit Pulau Jampea.