Penyebutan Desa Bontomarannu, Kecamatan Bontomanai sebagai pusat pemerintahan Belanda dan Jepang di era penjajahan, ternyata bukanlah sekedar isapan jempol belaka. Terbukti, di wilayah ini masih sangat banyak dijumpai situs peninggalan sejarah masa lalu, diantaranya : Buhung Silo, Buhung Ulu Ere, dan patok batas wilayah yang ditancapkan Pemerintah Kolonial Belanda di areal pembangunan tower PT. Telkom kawasan puncak Desa Bontomarannu.
Menurut penuturan saksi sejarah di Desa Bontomarannu, Baho Dg. Sitojeng, dulunya Pemerintah Belanda pernah mendirikan sebuah menara di kawasan puncak. Namun belakangan, menara tersebut, hancur dan musnah diledakkan penjajah Nippong (Jepang).
Selain situs-situs ini, tak jauh dari lokasi Buhung Silo, juga masih dapat dijumpai sisa-sisa lantai dan puing-puing ex bangunan kamar mandi markas Jepang. Meski kini, puing-puing bangunanya mulai tampak diselimuti semak belukar.
Kamar mandi inilah yang dulunya digunakan Pemerintah Jepang untuk keperluan mandi air panas bersama dengan antek-anteknya dengan cara mengalirkan air dari Buhung Silo melalui pipa-pipa besi yang pembakarannya tak pernah padam.
Kendati tak dapat dipungkiri, bahwa sumur-sumur seperti ini juga dapat dijumpai, tepat di kaki bukit Bumi Bontomarannu. Sebagaimana rekaman gambar yang berhasil diabadikan wartawan media ini saat akan bertolak meninggalkan kawasan Ibukota Desa Bontomarannu.
Di lokasi ini, terdapat sedikitnya dua buah sumur yang terselip di antara himpitan bebatuan. Sumur ini selanjutnya diberi nama Sumur Kembar. Kendati sebelumnya, kedua sumur dimaksud, masih dalam status sumur tanpa nama.
Menurut Baho, sebelum menguasai wilayah Desa Bontomarannu, Pemerintah Jepang awalnya tinggal mendiami sebuah bangunan Bangsal yang pertama kali dibangun di Dusun Appabatu, Desa Parak, Kecamatan Bontomanai.
Setelah itu, mereka berpindah ke Dusun Cinimabela dan kembali mendirikan bangunan Bangsal atau yang lebih kerap diistilahkan dengan camp sebagai pusat kegiatan penjajah Nippong selama keberadaannya di Selayar.
Dan baru beberapa tahun kemudian, pasukan Nippong Hijrah ke wilayah Desa Bontomarannu dan mulai melakukan aktivitas pembangunan asrama, yang kini tinggal menyisakan bagian lantai dasar, dan puing-puing bangunan ex kamar mandi saja.
Pada saat itu, wilayah ini masih dinamakan Dusun Gantarang, dan baru sekarang berubah menjadi Dusun Bontomarannu. Petikan sejarah ini sendiri, dituangkan Baho Dg. Sitojeng sebagai seorang pelaku sejarah yang pernah bekerja dan mengabdikan diri kepada Pemerintah Jepang selama kurun waktu tiga tahun, tiga bulan di wilayah Dusun Gantarang, sekarang Dusun Bontomarannu.
Selama kurun waktu tiga tahun, tiga bulan, Baho Dg. Sitojeng ditugaskan sebagai seorang mandor atau kepala pengawas, bertempat di lokasi tempat bekerjanya para pekerja rodi yang merupakan tawanan penjajah Jepang, kala itu.
Saat itu, Baho Dg. Sitojeng, tak seorang diri. Dia didampingi oleh dua orang warga pribumi lainnya yakni, Sandak dan Ponggaha Jambuiya yang ditugasi sebagai eksekutor tukang cambuk, bila sekali waktu ada masyarakat Indonesia yang mencoba untuk memberontak dan tidak bersedia mematuhi ketentuan Pemerintah Jepang.
Kejamnya lagi, sebab pada masa tersebut, Pemerintah Jepang acap kali menggudangkan dan sama sekali tidak mendistribusikan bahan baku makanan kepada masyarakat yang enggan bekerja untuk kemaslahatan Pemerintah Jepang.
Padahal, beras, garam dan ikan kering, adalah harapan kehidupan satu-satunya bagi masyarakat sipil di era tersebut. Sehingga, masyarakat pribumi tak punya pilihan lain, terkecuali mengabdi kepada Pemerintah Jepang agar mereka bisa tetap mendapatkan suplay bahan baku makanan, untuk sekedar memenuhi kebutuhan sesuap nasi bagi keluarga.
Kekuasaan dan kekejaman Pemerintah Jepang baru berakhir, setelah Penjajah Kolonial Belanda datang kembali ke wilayah itu dan melakukan penyerangan habis-habisan terhadap asrama Jepang dan turut menenggelamkan seperdua wilayah kekuasaan Pemerintah Jepang di wilayah Dusun Gantarang melalui serangan bom udara.
Sementara, Pemerintah Jepang yang kala itu harus berhadapan dengan penjajah kolonial Belanda hanya bisa mengandalkan senjata samurai dan beberapa pucuk senjata api laras panjang milik mereka.
Selain mereka juga turut dilengkapi dengan persenjataan tradisional berupa tombak berbahan baku pohong pinang yang pertama kali di design di wilayah Batu Baba, Dusun Bontomarannu.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar