Menatap Pesona Sunset Bumi Tanadoang

Menatap Pesona Sunset  Bumi Tanadoang

Sabtu, 03 Maret 2012

Polres Kepulauan Selayar Gulung Sindikat Penyelundup Narkotika Golongan Satu


Curiga dengan kemasan paket kiriman bernomor expedisi sepuluh yang dikemas dalam bungkusan plastik warna merah, warga masyarakat langsung melaporkan keberadaan  kemasan kiriman mencurigakan di perwakilan bus SM ke Mako Polres Kepulauan Selayar. 
Mendasari laporan masyarakat tersebut, tim buser polres setempat pun langsung bergerak menuju ke TKP dan melakukan proses identifikasi terhadap kiriman asal kota Makassar yang ditujukan kepada H.S.
Dari hasil pemeriksaan, polisi  berhasil menemukan barang bukti berupa narkotika golongan satu jenis shabu-shabu yang diselipkan pengirim, di dalam kemasan roti. Berselang beberapa menit kemudian, polisi berhasil menciduk tersangka AI (26 thn) yang beralamat di Jl. Poros Bandar Udara Padang, Desa Bontosunggu, Kecamatan Bontoharu.
Tersangka AI diciduk polisi di perwakilan bus SM, saat akan menjemput kiriman dos berisi roti yang salah satunya diselipi satu shacet plastik kecil berisikan butiran Kristal warna putih.
Selain itu, polisi juga berhasil menangkap sejumlah tersangka lain yang diduga merupakan jaringan tersangka AI. Untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, oknum pegawai kelurahan Benteng Selatan berinisial AI ini, terpaksa harus meringkuk di balik hotel prodeo, Polres Kepulauan Selayar, terhitung sejak (17/10) 2011 lalu.
Tersangka AI ditahan polisi atas dugaan, menawarkan untuk dijual, menjual, memiliki, menerima dan menjadi perantara dalam transaksi jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan satu berupa shabu-shabu.
 Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kabupaten Kepulauan Selayar, Agus Darmawijaya, SH. MH menjelaskan, tersangka AI dan kawan-kawan, telah resmi menjadi tahanan kejaksaan mulai hari Kamis, (02/2) lima pekan kemarin.
Dan atas perbuatannya, para tersangka terancam bakal terjerat pasal berlapis, masing-masing : pasal 114 Ayat (1) UU No. 35, Tahun 2009 Tentang Narkotika, JO Pasal 55 Ayat Ke 1 KUHP, berikut, Pasal 112 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009, JO Pasal 55 Ayat (1) Ke 1 KUHP, dan Pasal 131 UU No. 35 Tahun 2009 Tentang : Narkotika, JO Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP, tandas Agus kepada wartawan di ruang kerjanya belum lama ini.(*)        
     

   

Melakoni Profesi Pemulung Di Areal TPA Antara Sampingan Dan Pekerjaan Pokok

Kendati harus terbelit desakan ekonomi, namun masyarakat pemulung di areal tempat pembuangan akhir sampah di Kabupaten Kepulauan Selayar ternyata belum menjadikan profesi memulung sebagai pekerjaan pokok.
Mereka masih lebih cenderung mengolah kelapa menjadi kopra, ketimbang harus mencari dan mengumpulkan barang-barang bekas di tengah teriknya panas matahari dan suara bising eskapator. 
Hal ini dilontarkan Abbas, pria pemulung berusia sekira 43 tahun asal Desa Kaburu, Kecamatan Bontomanai yang ditemui wartawan di sela-sela kesibukannya mengolah kopra yang tak jauh dari areal tempat pembuangan akhir sampah.
Pekerjaan memulung plastik dan barang-barang bekas baru akan dilakoni Abbas bersama istrinya Sunarti (30 tahun), setelah musim panen kelapa berlalu yang hanya berlangsung sekali dalam setahun.
Pada saat bersamaan, profesi memulung plastik dan barang-barang bekas buangan masyarakat pun harus dilakoninya untuk dapat terus menyambung tali kehidupan keluarga. Bagi Abbas, memulung plastik dan barang-barang bekas adalah pilihan terakhir kehidupan keluarganya.
Bahkan, Abbas dan keluarganya seakan telah menyatu dengan kehidupan tempat pembuangan akhir sampah. Tak ada lagi rasa jijik yang dirasakannya, saat dia harus mengolah kopra di tengah kekumuhan bangunan tenda-tenda plastik dan tumpukan barang-barang bekas beraroma tidak sedap.
Lebih jauh Abbas menuturkan, memulung plastik dan barang-barang bekas dari areal tempat pembuangan akhir sampah merupakan pilihan terakhir bagi warga Desa Kaburu setelah musim kelapa berlalu.
Kondisi ini turut diaminkan Saodah (50 thn) yang sudah puluhan tahun melakoni kehidupan sebagai seorang petani kopra sekaligus profesi pemulung barang-barang bekas di sekitar areal tempat pembuangan akhir sampah.
Saodah mengaku, plastik dan barang-barang bekas hasil pilahannya terkadang dijual seharga Rp. 800. Perkilo. Itupun  dalam sebulannya, Saodah hanya mampu meraup keuntungan antara Rp. 200.000,- sampai Rp. 300.000,-.
Harga yang sangat minim memang, bila diperbandingkan dengan energi dan lamanya waktu yang  digunakan oleh perempuan berusia paruh bayah ini untuk bisa mengumpulkan satu kilo plastik aqua dan teh gelas bekas.
Belum lagi, botol-botol aqua berukuran sedang mendadak tidak dibeli para pedagang penampung barang bekas. Kalaupun ada pengusaha penampung yang membelinya, maka botol-botol tersebut hanya akan dibeli murah dari para pemulung.
Biasanya, botol aqua bekas seperti ini dihargai pengusaha penampung sampai angka Rp.500,- perkilonya.
Tak hanya Saodah dan Abbas yang bernasib malang seperti ini. Tetapi, kisah yang tak kalah memiriskan  juga turut dirasakan Hamzah (53 tahun) yang sehari-harinya bekerja sebagai pembeli, sekaligus pencari kardus-kardus bekas buangan masyarakat di areal TPA.
Profesi ini mulai dilakoninya sejak sembilan tahun silam, saat areal tempat pembuangan akhir sampah masih berada di bilangang lingkungan Parappa, sampai kemudian TPA bergeser ke Desa Kaburu.
Dalam penuturannya kepada wartawan Hamzah mengaku, untuk sehari dia bisa mengumpulkan uang sampai dua puluh lima ribu rupiah dari hasil menimbang kardus-kardus bekas yang dipilahnya dari gundukan sampah berbau di areal TPA.
Pekerjaan mengumpulkan kardus-kardus bekas sampai takaran lima puluh kilo, terkadang harus dijalani Hamzah mulai dari pukul 08.00 sampai pukul 18.00 WITA. Setelah itu, barulah dia mengemas kardus-kardus bekas tersebut untuk dijual kepada pengusaha penampung langganannya dengan harga jual lima ratus rupiah untuk persatu kilonya.
Dari hasil menimbang kardus-kardus bekas ini pulalah, Hamzah mampu menghidupi sembilan orang anggota keluarganya, termasuk satu orang cucunya yang baru menapaki usia dua tahun. Bocah malang yang ditinggal menikah lagi oleh ayah kandungnya.
 Himpitan ekonomi, bahkan sempat membuat kandas pendidikan empat orang anak kandungnya. Tiga diantaranya, hanya sempat menamatkan pendidikan sampai di bangku kelas enam sekolah dasar.
Sementara, Jumriani putri sulungnya harus ikut berhenti sekolah, tepat saat akan mengikuti ujian akhir di bangku kelas tiga SMA Muhammadiyah Benteng Selayar, lantaran terbentur persoalan biaya pendidikan.
Dalam kondisi seperti ini, tak ada pilihan lain baginya, kecuali menikah dengan lelaki pilihan hatinya. Namun sayang sekali, pernikahannya pun harus kandas, setelah prahara menimpa rumah tangganya yang berbuntut perceraian. Meski sebelumnya, dia sempat dikaruniai seorang anak.
Sebagai dampaknya, tinggallah kini, Alfatiha, putranya yang harus menanggung beban perceraian kedua orang tuanya. Sedang ayahnya, tak lagi pernah mengirim kabar berita tentang keberadaannya kini. Terlebih lagi, untuk mengirimkan biaya kehidupan kepada mantan istri dan anaknya.
Seperti apa dan bagaimana masa depan kehidupan Alfatiha, pasca perceraian kedua orang tuanya???. Ikuti terus penelusuran kami pada  edisi berikutnya. (*) 

                   


Menelusuri Jejak Kehidupan Pemulung TPA Kaburu

Kehidupan pemulung TPA di Kabupaten Kepulauan Selayar masih menyisakan sejuta teka-teki menyusul belum diketahui pastinya motif yang melatar belakangi kehidupan para pencari barang bekas yang kerap beroperasi di sekitar lingkungan Tempat Pembuangan Akhir sampah yang terletak di Dusun Kaburu, Desa Jambuiya, Kecamatan Bontomanai ini.
Banyak pihak yang mengatakan, kehidupan pemulung TPA tak lebih dari sekedar mata pencaharian sampingan dan pengisi waktu, setelah musim kopra berlalu, atau  pengisi waktu senggang, sembari menantikan buah kelapa mereka mulai menua untuk selanjutnya diolah menjadi  kopra.
Dikatakan demikian, sebab rata-rata para pemulung ini memiliki lahan perkebunan yang lokasinya tidak berjauhan dengan kawasan tempat pembuangan akhir, sehingga begitu mobil pengangkut sampah datang, mereka pun spontan berhamburan menuju TPA untuk mengais sampah-sampah plastik bekas buangan masyarakat kota Benteng.
Salah seorang staf bidang pengelolaan dan pembuangan akhir TPA yang sehari-harinya aktif bertugas di lingkungan Dinas Kebersihan & Pertamanan Kabupaten Kepulauan Selayar menuturkan, para pemulung barang bekas di kawasan TPA ini biasanya mulai bekerja mengumpulkan plastik aqua, dan kaleng susu bekas  antara pukul 08.00 hingga pukul 18.00 Wita.
Satu hal yang pasti, bahwa mereka tidak satupun yang terlihat tinggal menempati kawasan tempat pembuangan akhir. Bilapun ada bangunan tenda-tenda yang mereka bangun lokasi tersebut, tak lebih dari sekedar tempat bernaung dan beristrahat para pemulung seusai bekerja mengais rezeki diantara tumpukan sampah menggunung berbau.
Di bawah bangunan tenda-tenda plastik berukuran variatif antara 2x 4 meter sampai 4x4 meter ini pula para pemulung terkadang bekerja mengemas barang-barang hasil pilahan mereka ke dalam karung-karung plastik yang telah disediakan sebelumnya.
Bahkan, tak sedikit diantara mereka yang harus menjadikan pohon besar di sekitar areal TPA sebagai tempat berteduh dan mengemas barang-barang bekas yang telah dikumpulkannya untuk selanjutnya dijual kepada para pedagang pengumpul.
Para pemulung yang terdiri dari anak usia sekolah dasar dan orang dewasa ini, biasanya baru akan beranjak pulang  ke rumahnya masing-masing saat hari menjelang malam. Dikala  azan magrib mulai terdengar berkumandang di masjid.
Sebelumnya, mereka akan terlebih dahulu mengunci bangunan tenda-tenda tempat mereka menyimpan dan mengamankan barang-barang pilahan yang telah dikemas ke dalam karung.
Meski tidak demikian halnya, bagi mereka kelompok pemulung suami-istri yang datang ke lokasi TPA dengan membawa perbekalan makanan seadanya.
Ada cerita menarik dari kehidupan tempat pembuangan akhir sampah di Desa Kaburu, bahwa ternyata lokasi ini tidak hanya menjadi sumber penghidupan manusia, tetapi  kawasan TPA  ternyata juga merupakan sumber kehidupan bagi 20 an ekor ternak piaraan masyarakat, baik sapi, kambing, maupun anjing-anjing liar berotak manusia di sekitar areal pembuangan akhir sampah ini.
Dikatakan ternak berotak manusia, sebab sapi,  kambing, dan anjing-anjing liar ini baru akan mendatangi lokasi tempat pembuangan akhir setiap kali armada mobil pengangkut sampah datang membawa sampah-sampah buangan masyarakat kota yang terdiri dari sampah dedaunan maupun sisa-sisa makanan.
Sisa-sisa makanan inilah yang selanjutnya menjadi santapan anjing-anjing liar di sekitar areal TPA. Sedangkan, sapi dan kambing datang berburu sampah dedaunan. Hal tersebut dijelaskan Kepala Bidang Pengelolaan dan Pembuangan Akhir, Dinas Kebersihan & Pertamanan Kabupaten Kepulauan Selayar, Drs.Bahtiar Dg. Pattale kepada wartawan di ruang kerjanya belun lama ini.   
Kendati masih terdapat cerita lain yang lumayan memprihatinkan, bahwa ternyata dari sekian banyak warga pemulung yang kerap beroperasi di kawasan TPA  dua diantaranya sempat diberikan pinjaman uang sebesar satu juta rupiah dari Dinas Kebersihan & Pertamanan  untuk kepentingan biaya pembayaran penerangan listrik rumah tempat tinggal mereka.
Parahnya lagi, karena sampai saat ini  mereka ternyata belum mampu melunasi panjar pembayaran listrik yang dipinjamnya dari Dinas Kebersihan & Pertamanan Kabupaten Kepulauan Selayar. 
Terkait hal tersebut, Kepala Dinas Kebersihan & Pertamanan Kabupaten Kepulauan Selayar, Drs. Odding Karim, M.H banyak berharap untuk dapat melakukan pemberdayaan kehidupan warga pemulung di kawasan TPA.
Sudah saatnya, warga pemulung diorganisir dalam wadah organisasi komunitas pemulung untuk kemudian, diberdayakan melalui pembentukan koperasi pemulung sebagai fasilitator penampung dan pembeli barang-barang bekas hasil pilahan para pemulung itu sendiri.
Sehingga, barang hasil pilahan para pemulung ini tidak lagi tinggal dan menjadi pemandangan kumuh di sekitar kawasan TPA. Odding berharap, tak hanya koperasi yang banyak berperan di dalam pemberdayaan kelompok pemulung.
Akan tetapi, institusi pemberdayaan perempuan dan pemberdayaan masyarakat pun diharapkan dapat mengambil peran serta pada kepentingan peningkatan taraf perekonomian komunitas pemulung TPA untuk menunjang terwujudnya visi Kabupaten Kepulauan Selayar sebagai kabupaten yang sejahtera, maju & religius.  (fadly syarif)

Meretas Langkah & Menapaki Jejak Sejarah Perjuangan Di Bumi Bontomarannu


Penyebutan Desa Bontomarannu, Kecamatan Bontomanai sebagai pusat pemerintahan Belanda dan Jepang di era penjajahan, ternyata bukanlah sekedar isapan jempol belaka. Terbukti, di wilayah ini masih sangat banyak dijumpai situs peninggalan sejarah masa lalu, diantaranya : Buhung Silo, Buhung Ulu Ere, dan patok batas wilayah yang ditancapkan Pemerintah Kolonial Belanda di areal pembangunan tower PT. Telkom kawasan puncak Desa Bontomarannu.
Menurut penuturan saksi sejarah di Desa Bontomarannu, Baho Dg. Sitojeng, dulunya Pemerintah Belanda pernah mendirikan sebuah menara di kawasan puncak. Namun belakangan, menara tersebut,  hancur dan musnah diledakkan penjajah Nippong (Jepang).
Selain situs-situs ini, tak jauh dari lokasi Buhung Silo, juga masih dapat dijumpai sisa-sisa lantai dan puing-puing ex bangunan kamar mandi markas Jepang. Meski kini, puing-puing bangunanya mulai tampak diselimuti semak belukar.
Kamar mandi inilah yang dulunya digunakan Pemerintah Jepang untuk keperluan mandi air panas bersama dengan antek-anteknya dengan cara mengalirkan air dari Buhung Silo melalui pipa-pipa besi yang pembakarannya tak pernah padam.
Kendati tak dapat dipungkiri, bahwa sumur-sumur seperti ini juga dapat dijumpai, tepat di kaki bukit Bumi Bontomarannu. Sebagaimana rekaman gambar yang berhasil diabadikan wartawan media ini saat akan bertolak meninggalkan kawasan Ibukota Desa Bontomarannu.
Di lokasi ini, terdapat sedikitnya dua buah sumur yang terselip di antara himpitan bebatuan. Sumur ini selanjutnya diberi nama Sumur Kembar. Kendati sebelumnya, kedua sumur dimaksud, masih dalam status sumur tanpa nama.
Menurut Baho, sebelum menguasai wilayah Desa Bontomarannu, Pemerintah Jepang awalnya tinggal mendiami sebuah bangunan Bangsal yang pertama kali dibangun di Dusun Appabatu, Desa Parak, Kecamatan Bontomanai.
Setelah itu, mereka berpindah ke Dusun Cinimabela dan kembali mendirikan bangunan Bangsal atau yang lebih kerap diistilahkan dengan camp sebagai pusat kegiatan penjajah Nippong selama keberadaannya di Selayar.
Dan baru beberapa tahun kemudian, pasukan Nippong Hijrah ke wilayah Desa Bontomarannu dan mulai melakukan aktivitas pembangunan asrama, yang kini tinggal menyisakan bagian lantai dasar, dan puing-puing bangunan ex kamar mandi saja.
Pada saat itu, wilayah ini masih dinamakan Dusun Gantarang, dan baru sekarang berubah menjadi Dusun Bontomarannu. Petikan sejarah ini sendiri, dituangkan Baho Dg. Sitojeng sebagai seorang pelaku sejarah yang pernah bekerja dan mengabdikan diri kepada Pemerintah Jepang selama kurun waktu tiga tahun, tiga bulan di wilayah Dusun Gantarang, sekarang Dusun Bontomarannu.
Selama kurun waktu tiga tahun, tiga bulan, Baho Dg. Sitojeng ditugaskan sebagai seorang mandor atau kepala pengawas, bertempat di lokasi tempat bekerjanya para pekerja rodi yang merupakan tawanan penjajah Jepang, kala itu.
Saat itu, Baho Dg. Sitojeng, tak seorang diri. Dia didampingi oleh dua orang warga pribumi lainnya yakni, Sandak dan Ponggaha Jambuiya yang ditugasi sebagai eksekutor tukang cambuk, bila sekali waktu ada masyarakat Indonesia yang mencoba untuk memberontak dan tidak bersedia mematuhi ketentuan Pemerintah Jepang.
Kejamnya lagi, sebab pada masa tersebut, Pemerintah Jepang acap kali menggudangkan dan sama sekali tidak mendistribusikan bahan baku makanan kepada masyarakat yang enggan bekerja untuk kemaslahatan Pemerintah Jepang.
Padahal, beras, garam dan ikan kering, adalah harapan kehidupan satu-satunya bagi masyarakat sipil di era tersebut. Sehingga, masyarakat pribumi tak punya pilihan lain, terkecuali mengabdi kepada Pemerintah Jepang agar mereka bisa tetap mendapatkan suplay bahan baku makanan, untuk sekedar memenuhi kebutuhan sesuap nasi bagi keluarga.
Kekuasaan dan kekejaman Pemerintah Jepang baru berakhir, setelah Penjajah Kolonial Belanda datang kembali ke wilayah itu dan melakukan penyerangan habis-habisan terhadap asrama Jepang dan turut menenggelamkan seperdua wilayah kekuasaan Pemerintah Jepang di wilayah Dusun Gantarang melalui serangan bom udara.
Sementara, Pemerintah Jepang yang kala itu harus berhadapan dengan penjajah kolonial Belanda hanya bisa mengandalkan senjata samurai dan beberapa pucuk senjata api laras panjang milik mereka.
Selain mereka juga turut dilengkapi dengan persenjataan tradisional berupa tombak berbahan baku pohong pinang yang pertama kali di design di wilayah Batu Baba, Dusun Bontomarannu.(*)
            









Mengungkap Awal Mula Penyebaran Syariat Islam Dari Pintu Pantai Timur Gantarang Lalang Bata

Desa Bontomarannu, Kecamatan Bontomanai, Kabupaten Kepulauan Selayar, ternyata tidak hanya banyak menyisakan catatan sejarah perjuangan perebutan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI, Red) dari tangan penjajah.
Akan tetapi, wilayah yang dinakhodai Mappa Boererah ini ternyata juga sangat banyak menyisakan catatan sejarah mengenai penyebaran syariat Islam pertama yang diawali dari pintu pantai timur, Dusun Gantarang Lalang Bata, tempat berlabuhnya kapal milik Datu Ri Bandang.
Saat pertama kali menapakkan kakinya di Bumi Gantarang Lalang Bata, Datu Ri Bandang langsung melakukan misi pengislaman di tengah-tengah masyarakat Kabupaten Kepulauan Selayar dan sekitarnya.
Pada masa itu, Datu Ri Bandang mengawali langkahnya dengan terlebih dahulu memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang maksud kedatangannya ke Kabupaten Kepulauan Selayar, sebagaimana yang ditirukan salah seorang pelaku sejarah di wilayah Desa Bontomarannu, Baho Dg. Sitojeng berikut ini, “Nia’ma’ anne Battu Ri Gowa, Lampassalangngi, Tau Ri Gantarang, Nala Sunnako, Potong Gigi, Potong Rambut  dengan melafadzkan dua kalimat syahadat, Ashadu Allah Ilaha Illallah, Wa’as Hadu Anna Muhammadarrasulullah”. 
Setelah melakukan pengislaman pertama kali di Bumi Gantarang, Datu Ri Bandang langsung meminta salah seorang  anak yang telah disunat untuk sejenak menunduk dan melihat alat kelaminnya yang telah dipotong, sembari bertanya kepada sang anak, sakit ???, ujar Datu Ri Bandang yang ditimpali anak tersebut dengan jawaban singkat, tidak.
Usai dijawab oleh sang anak, Datu Ri Bandang menjelaskan, bahwa  kegiatan penyunatan adalah simbol pertama masuknya Agama Islam ke Kabupaten Kepulauan Selayar, secara resmi. Untuk selanjutnya, dari Dusun Gantarang Lalang Bata, Datu Ri Bandang bergerak menuju ke daerah-daerah terpencil lain di Kabupaten Kepulauan Selayar dengan membawa misi pengislaman yang oleh masyarakat lokal di Desa Bontomarannu kerap diistilahkan dengan “Silamong”.
Dalam perjalanannya itulah, Datu Ri Bandang bersama Sultan Raja Dg. Pangali’ singgah beristrahat di Dusun Cinimabela yang merupakan pemaknaan dari tempat Pa’bela-Belaang, atau tempat beristrahatnya, para tokoh alim ulama penyebar syariat Islam pertama di Kabupaten Kepulauan Selayar.
Bersamaan dengan kedatangan Datu Ri Bandang dan Sulta Raja Dg. Pangali ke kabupaten di ujung selatan Provinsi Sulawesi-Selatan ini, Ummat Islam  di Kabuten Kepulauan Selayar pun, mulai dikenalkan pada sebuah pepatah yang berbunyi, Dato Bandang, Wa Dato Tiro, Mangkasaria.
Pepatah inilah yang kemudian mengilhami mulai dilestarikannya tradisi rate’ di hampir seluruh penjuru Bumi Tanadoang, baik Rate’ Juma (Rate’nya Nabi Adam AS), Rate Maulid (Rate’nya, Baginda Nabi Besar Muhammad SAW), dan Rate’ Sanneng (Rate’nya Allah SWT).
Bahkan dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, lahir pula istilah tingkasa yang salah satu diantaranya berbunyi : Bonto Bangung Tani Beta, Tani Sauru Janganna, Pammottokinna Kala Sa’ramu Dallea. Disusul kemudian, dengan lahirnya tingkasa berbunyi : Balang Butung, Buki Tonja, Dg. Lempangang Kala Sa’ramu Dallea. Berikutnya, kembali muncul tingkasa berbunyi : Balang Butung, Buki Tonja, Balang Buki, Buki Tonja, Na Dg. Lempangang Gowaja Lappassanderi.
Tingkasa terakhir ini bermakna, Balang Butung dan Buki merupakan satu kesatuan wilayah yang tidak dapat terpisahkan antara satu sama lain. Sementara kalimat Na Dg. Lempangang Gowaja Lappassanderi bermakna, kedua wilayah tersebut di atas, yakni Balang Butung dan Buki, terkesan menyegani Kabupaten Gowa, sebagai daerah asal Sultan Raja Dg. Pangali,  jelas Kepala Dusun Bontomarannu Baho Dg. Sitojeng, yang sekaligus adalah saksi sejarah di wilayah tersebut.
Berangkat dari tingkasa terakhir ini pula, masyarakat Kohala sempat mengajukan keberatan kepada Pemerintah kabupaten Kepulauan Selayar, saat mereka akan dipisahkan dengan wilayah Balang Butung yang awal mulanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisakan dari Desa Buki lama.
Lebih jauh Baho menjelaskan, keberadaan Dusun Gantarang Lalang Bata sebagai kawasan penyebaran syariat Islam pertama di Kabupaten Kepulauan Selayar dapat dibuktikan dengan keberadaan mimbar warisan leluhur, beralaskan selembar kain putih, di Masjid Babul Khaer, Desa Bontomarannu.
Mimbar serupa juga dapat dijumpai di Masjid Babul Jannah, Dusun Gollek, Desa Bontomarannu yang masih komplit dengan beduk atau yang dalam dialek Bahasa Selayar kerap disebut Tumba, berikut pemukulnya.
Beduk biasanya ditabuh sebagai simbol akan segera masuknya waktu shalat. Terkhusus  pada hari Jumat, beduk biasanya ditabuh sebanyak dua kali. Tabuhan berkali-kali menandakan panggilan shalat untuk masyarakat muslim, sedang tabuhan yang berulang sampai empat kali menyimbolkan akan segera masuknya waktu shalat Jum’at yang beberapa menit kemudian akan disusul suara adzan, cetusnya di akhir perbincangan dengan wartawan. (*)

TOP RELEASE

Gaul Cell Selayar

Gaul Cell Selayar
Jual Beragam Jenis Telefon Selular & Melayani Service Kerusakan Ponsel
Powered By Blogger