Slogan kota sejarah dan pahlawan yang diabadikan masyarakat Kecamatan Bontomanai, Kabupaten Kepulauan Selayar pada pintu gerbang ibukota kecamatannya, ternyata bukanlah sekedar simbol tanpa dasar sejarah sama sekali.
Terbukti, di Dusun Cinimabela masih ditemui keberadaan pondasi ex bangunan markas penjajah Jepang, sebelum penjajah Belanda kembali datang ke Kabupaten Kepulauan Selayar dan meluluh lantakkan benteng pertahanan milik penjajah Nippong atau Jepang.
Sementara itu, jauh di dalam semak belukar yang membungkus salah satu areal lahan pertanian di daerah tersebut juga ditemukan sebuah sumur tua berlantai bebatuan. Oleh warga masyarakat setempat, sumur tua yang diyakini merupakan peninggalan pemerintah Jepang ini kemudian diberi nama Buhung Bakkara.
Sayang sekali, karena tak sedikitpun cerita yang berhasil didapatkan terkait dengan asal mula penamaan Buhung Bakkara ini. Pasalnya, tak ada lagi orang tua atau tokoh masyarakat yang bisa bercerita banyak tentang sejarah masa lalu di bekas wilayah kekuasaan Opu Bonea, termasuk mengenai asal-usul penamaan Buhung Bakkara.
Meninggalkan Dusun Cinimabela, penelusuran kembali berlanjut ke Dusun Appabatu yang merupakan pintu gerbang utama menuju desa-desa lain di sepanjang bagian timur wilayah Kecamatan Bontomanai.
Di dusun ini, terdapat sedikitnya dua buah sumur dan sebuah bak penampungan air yang mulai diselimuti rerumputan. Diantara kedua sumur tua di lokasi itu, salah satu diantaranya merupakan sumur tua peninggalan Jepang yang masih lengkap dengan bak mandinya.
Salah seorang warga di dusun tersebut menuturkan, “Dulunya, sumur tua ini tak lebih dari sebuah sumur batu. Dan baru pada era tahun 1970-an, sumur yang berjarak sekira seratus meter dari arah pintu Dusun Appabatu tersebut, ditingkatkan statusnya menjadi sebuah sumur semen berdinding.
Sementara, tak jauh dari lokasi sumur ikut dibangun sebuah mck yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mandi dan mencuci masyarakat sekitar. Kendati belakangan, kedua sumur yang berhadapan dengan areal tambak ini tak lagi dimanfaatkan masyarakat dengan alas an airnya yang asin.
Sampai akhirnya, kedua buah sumur dimaksud tinggal menjadi sebuah bangunan sejarah terbengkalai, terbungkus rerimbunan semak belukar dan hanya bisa diam membisu menyaksikan kendaraan hilir mudik di sekitarnya, tanpa sedikitpun meninggalkan serpihan catatan sejarah untuk generasi Bumi Tanadoang.(*)