Tak banyak putra daerah yang peduli pada kampung halamannya, satu diantara yang sedikit itu adalah Tanri Abeng, MBA. Putra Selayar yang populer dengan sebutan ‘’Manajer Satu Milyar” ini dikenal banyak memberikan perhatian pada daerah kelahiran. Kendati ia sangat merahasiakannya.
Satu yang tak bisa dirahasiakan adalah sumbangan sarana pendidikan di SMU Andalan Malino. Sebuah perpustakaan yang menelan biaya Rp. 400 juta yang berdiri megah ini merupakan bantuan putra kelahiran Selayar, 7 Maret 1947 ini.
Tak hanya itu, Tanri Abeng berjanji akan memberikan beasiswa bagi siswa yang paling banyak menggunakan fasilitas perpustakaan. Sikap peduli terhadap pendidikan ini menurut beberapa kalangan dianggap sebagai hal yang lumrah.
Tanri Abeng dikenal sangat merasakan bagaimana penderitaannya menuntut ilmu dengan dana yang sangat pas-pasan. Boleh jadi, itu menjadi latar belakannya. ‘’Saya ingin mereka menikmati hasil pembangunan ini,’’ katanya pada wartawan ketika peresmian perpustakaan yang diberi nama Perpustakaan ‘’Anak Kukang’’ di SMU Andalan Malino beberapa bulan lalu.
Sejak kecil Tanri Abeng sudah merasakan bagaimana hidup tanpa orang tua. Umurnya baru saja genap 10 tahun ia sudah yatim piatu, lalu dia tinggal dengan sepupunya di Ujungpandang, sekaligus mendapat biaya pendidikan.
Ketika ia duduk dikelas tiga SMEA, tepatnya tahun 1961 Tanri Abeng mengikuti program pertukaran pelajar Indonesia-Amerika, AFS. Selama setahun ia tinggal bersama keluarga Wallace Gibson, yang kemudian menjadi orangtua angkatnya.
Usai program AFS itu, Tanri Abeng kembali ke Ujungpandang dan masuk pada Fakultas Ekonomi Unhas. Keakraban yang diciptakan dengan orang tua angkatnya menjadikan ia dirindukan di Amerika.
Atas upaya orang tua angkatnya pula, Tanri Abeng kembali ke Amerika menuntut ilmu sampai meraih gelar doktornya di State University Of New York, Buffalo. Suka duka menuntut ilmu dengan status anak yatim piatu menjadi pengalaman yang berharga bagi seorang Tanri Abeng.
Berkat ketekunannya ia berhasil melaluinya dengan gemilang. Dunia organisasi juga diakui ikut membentuk dirinya. Sejak berstatus pelajar, Tanri sudah aktif berorganisasi di PII (Pelajar Islam Indonesia), bahkan sampai ditunjuk sebagai bendahara. Di Universitas, ia masuk Himpunan Mahasiswa Islam cabang Ujungpandang.
Gelar MBA-nya hanya ditempuh satu setengah tahun, ketekunan dan kecemerlangan otaknya memang selalu menonjol. Delapan bulan sebelumnya, Tanri Abeng sudah memulai kariernya sebagai bisnisman di Union Car bide Corp di Amerika Serikat sebagai Manajemen Trainee, dan penghasilannya pun semakin meningkat.
Namun Tanri Abeng mengaku mulai menikmati penghasilannya sejak dari pertukaran pelajar. Sambil kuliah di Unhas, sore harinya ia mengajar bahasa Inggris di sebuah tempat kursus, milik kepala sekolahnya. Dari honor itu, ia dapat membayar kostnya.
“Saya ingat honornya waktu itu sekitar 3 ribu perak,’’ ucapanya mengenang. Waktu duduk ditingkat dua Fakultas Ekonomi Unhas, Tanri Abeng mulai kerja part time sebagai akuntan di sebuah perusahaan swasta.
“Jadi, sambil sekolah saya sudah dapat gaji teratur,’’ katanya. Untuk ukuran mahasiswa di Ujungpandang waktu itu, kehidupan Tanri Abeng sudah tergolong lebih baik dari teman-temannya. Ia sudah bisa sewa rumah dan punya pembantu. “Dan waktu itu kalau sudah bisa naik skuter kan sudah lumayan,’’ ujarnya tersenyum.
Sebelum ke Jakarta, Tanri Abeng sempat magang di kantor cabang Union Carbide di India dan Singapura. Sewaktu di Jakarta, ia memegang posisi kepala bagian akuntansi dan manajer kantor.
Ketika direktur keuangan, yang orang inggris itu, mendadak sakit dan harus kembali ke negaranya. Tanri Abeng dipercayakan menggantikannya. Waktu itu umurnya baru 28 tahun.
Dari sini kecermelangannya semakin tampak. Dia lalu ditugaskan sebagai manejer pemasaran di Singapura, sebagai persiapan memegang posisi puncak di Union Carbide Indonesia.
Tapi ketika kembali ke Indonesia, Tanri Abeng diminta menunggu enam bulan lagi, lantaran bos Union Carbide di AS masih mempertahankan pimpinan lama karena belum mendapat posisi baru.
Tanri tampak kecewa. Dia merasa pimpinan Union Carbide di AS kurang percaya pada kemampuannya. Pada saat seperti itu, datang tawaran dari PT. Multi Bintang Indonesia, untuk jabatan General Manager.
Saat itu perusahaan tersebut sedang mengalami kemunduran. ‘’saya merasa ditantang,’’ kata Tanri Abeng. Maka pertemuan pun diatur, dan hanya membutuhkan lima menit untuk melahirkan kesepakatan.
Ditangannya, Multi Bintang Indionesia mampu menjadi perusahaan yang bonafide. Diakui Tanri Abeng, dirinya sering kali dpandang enteng. Itu juga lantaran postur tubuhnya tergolong kecil.
Pernah suatu waktu ketika masih di Union Carbide Corp. Tanri Abeng banyak didatangi orang asing untuk negosiasi keuangan. Dikantornya, ia ditanya mana direktur keuangannya ? “saya bilang, saya orangnya. Mereka tampak tak percaya,”kata Tanri Abeng.
Mungking dianggap masih anak kecil karena waktu itu umurnya masih berkisar 27-28 tahun. Masih sangat muda untuk ukuran perusahaan multi nasional. “supaya mereka percaya, sejak itu saya pakai kumis sampai sekarang,’’ kata tersenyum.
Kendati telah menjadi nomor satu diberbagai perusahaan, namun ada cita-cita Tanri Abeng belum terkabul, yakni ingin menjadi guru. Keinginan sejak kecil ini bukan tampa alasan.
Sebab semasa sekolah dulu, guru di mata Tanri Abeng luar biasa mulianya. Wibawanya tinggi, “saya respek luar biasa,” katanya. Bahkan sampai sekarang, Tanri Abeng selalu berterima kasih pada guru-gurunya. “apapun yang diajarkan kepada saya, relevan atau tidak, tetap saya anggap sebagai suatu anugerah,” ucapnya.
Kesan terhadap guru bagi Tanri Abeng muncul ketika ia duduk di kelas V SD di kampungnya, Selayar. Ia respek sekali dengan kepala sekolahnya, namanya “Tuan Guru Dora”. “Menurut pandangan saya orangnya jujur, adil, dan memiliki kewibawaan.
Segala-galanya seakan ada pada dia. Waktu itu saya belum memikirkan duit,” tuturnya mengenang. Walau demikian, secara tidak langsung Tanri Abeng telah memenuhi cita-citanya. Sebab hampir tiap tahun ia memberikan kuliah umum di hadapan para mahasiswa, juga terhadap manajer muda. “untuk mengajar secara full time belum bisa, belum ada waktu,” katanya.
Tanri Abeng dikenal pria sederhana. Kendati kekayaannya sudah melimpah, ia tetap tampil sederhana. Bahkan dua ankanya dididik untuk hidup sesederhana mungkin. “saya senang anak-anak saya tahu duit susah dicari. Tidak ada yang suka “berfoya-foya,” ucapnya tentang anaknya, Emil dan Edwin.
Lantaran kesederhanaan pula, ia memilih Farida Nasution sebagai pendamping hidup sampai sekarang. “Dia sederhana dalam segala-galanya. Tuntutannya tidak macam-macam. Make up-nya juga tidak macam-macam,”Katanya serius mengenang masa-masa kuliahnya dulu. Apa itu yang penting ? ‘’ya, takut nanti make up-nya canggih, saya kan tidak ada duit.’’
Farida Nasution di mata Tanri Abeng adalah wanita ideal, sederhana dan tidak macam-macam. Sempat pacaran selama lima tahun. Ia merupakan adik tingkatnya di Fakultas Ekonomi. (*)