Kehamilan pada usia Sembilan bulan adalah masa-masa paling menegangkan bagi seorang ibu hamil. Pada saat bersamaan, rasa cemas yang disertai penantian panjang berbaur menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Satu hal yang pasti, bahwa tak seorang pun ibu hamil yang pernah mengharapkan anaknya terlahir dalam kondisi tidak normal atau mengalami gangguan fisik pada organ tubuhnya.
Kondisi tak jauh berbeda, tentulah sangat diharapkan pasangan (Alm) Kadi & Saiya, ibu kandung Jumu, pria kelahiran Pulau Bonerate, 10 September 1976 yang harus terlahir dengan tangan bengkok.
Kendati hal tersebut, tak sekalipun pernah membuat Jumu merasa berkecil hati. Dia tetap menjalani hidupnya dengan penuh keceriaan, sama seperti kehidupan manusia normal pada umumnya. Tangan bengkok, tak pernah sedikitpun menjadi hambatan berarti bagi anak kedua dari tiga orang bersaudara ini untuk tetap melakoni rutinitasnya sebagai seorang petani dan peternak kambing di tengah-tengah kehidupan masyarakat Dusun Limbo, Desa Batu Bingkung, Kecamatan Pasimarannu, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi-Selatan.
Selain dikenal sebagai sosok peternak yang ulet dan pekerja keras, Jumu juga disebut-sebut sebagai tokoh seniman legendaries yang sangat piawai memainkan pukulan gendang Pangaru dengan bantuan tangan bengkoknya.
Jauh sebelum, tradisi pajoge’ lahir, dan berkembang di Pulau Bonerate dibawah iringan music electone. Pada saat bersamaan, Jumu bahkan tak jarang terjun langsung sebagai pelaku pada penampilan atraksi Pangaru dengan bekal kelebihan luar biasa yang sulit diterima oleh logika dan akal sehat. Pasalnya, dengan modal tangan kosong dan berbekal jari pada tangan bengkoknya, konon, Jumu mampu melukai pasangan bermainnya di arena Pangaru. Terlebih lagi, bila gendang mulai ditabuh.
Kendati lawannya di arena Pangaru, lebih banyak menggunakan senjata tajam, sejenis pedang, dan keris. Dikalangan keluarga dekatnya, Jumu dikenal sangat peka mendengar suara tabuhan music gendang Pangaru. Tak heran, bila sebelum meninggalkan rumah menuju arena Pangaru, Jumu terlebih dahulu akan melakukan serangkaian prosesi ujian kekebalan tubuh dari sabetan senjata tajam.
Bila dalam prosesi tersebut, tubuhnya terluka setelah terkena sabetan keris ataupun benda tajam lain, Jumu akan membatalkan penampilannya di arena Pangaru. Sampai akhirnya, tradisi Pangaru di Dusun Limbo harus sirna, lantaran tergilas oleh perputaran roda zaman yang kian modern.
Kala itu, Jumu terpaksa beralih profesi sebagai seorang penunggang kuda balapan. Dengan menyadari posisinya, sebagai tulang punggung keluarga yang secara otomatis menggantikan posisi ayahnya yang telah lebih awal berpulang ke pangkuan Sang Pencipta. Kendati profesi pelaku Pangaru, dan penunggang kuda, tinggallah menjadi sekedar kenangan masa lalu yang tak kan lagi pernah terulang. Setelah Jumu, memutuskan untuk terjun sebagai seorang petani dan peternak kambing, dengan tujuan meringankan beban pekerjaan ibunya yang telah memasuki usia rentah.
Begitulah, Jumu melewatkan kehidupan kesehariannya bersama Sang ibu tercinta, di tengah-tengah bangunan rumah kayu berukuran sederhana yang terletak di Gang 2, Dusun Limbo Timur, Desa Batu Bingkung. (fadly)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar