Dikala sebahagian warga masyarakat masih terlelap dalam tidur panjang dan buaian mimpi-mimpi indahnya, Elias Idris (40 thn), justeru sudah harus bangun menyambut pagi yang ceria sembari menggayuh becak menuju ruas jalan.
Tempat di mana, dia harus memulai rutinitas paginya sebagai seorang petugas penyapu jalan kota. Sebuah profesi yang sangat riskan menimbulkan penyakit inveksi saluran pernafasan atau yang dalam bahasa medisnya acap kali disingkat dengan sebutan penyakit Ispa.
Terlebih lagi, dalam menjalankan rutinitas kesehariannnya, Elias sama sekali tidak mengenakan alat proteksi kesehatan, semisal masker penutup hidung dan mulut, untuk mengurangi efek samping yang disebabkan oleh debu jalanan beterbangan, saat sapu lidinya mulai beraksi menyingkirkan sampah berserakan di pinggiran jalan.
Melakoni rutinitas mencari nafkah di jalanan, tentulah merupakan sebuah pekerjaan yang sangat beresiko dan berbahaya. Karena maut, seakan tak pernah berhenti mengintai kehidupan bersamaan, dengan kian padatnya jumlah kendaraan yang hilir mudik di ruas-ruas jalan utama perkotaan.
Namun, Elias tak punya pilihan lain, terkecuali harus tetap melakoni kehidupan kesehariannya itu sebagai seorang petugas penyapu jalan, meski gaji yang dia diperoleh setiap bulannya, masih terbilang sangat minim dan betul-betul hanya cukup untuk menutupi kebutuhan sembilan orang anggota keluarganya.
Gaji senilai lima ratus ribu rupiah perbulan yang diterima Elias dari Dinas Kebersihan & Pertamanan Kabupaten Kepulauan Selayar, terkadang hanya cukup untuk menutupi kebutuhan biaya perbaikan rumah, dan pembayaran sewa tanah, lokasi pembangunan rumahnya, kepada Sang pemilik lahan, bernama, Dg. Sandak.
Di dalam bangunan rumah berukuran 5x8 meter, berdinding, papan dan seng-seng bekas, yang ruang tamu serta kamar tidurnya, hanya dipisahkan oleh selembar kain pelaminan bekas berwarna hitam inilah, Elias Idris, bersama sembilan orang anggota keluarganya yang lain melewatkan suka duka kehidupan selama kurun waktu lima belas tahun.
Meski keluarga ini, harus melewatkan roda kehidupan dan tinggal berteduh di bawah atap rumah bocor dengan atap bagian depan rumah yang terbuat dari bahan baku gamacca yang mulai terlihat memprihatinkan tingkat kerusakannya. Belum lagi, dinding bagian depan rumah yang terdiri beberapa lembar papan bekas berwarna kusam.
Tiga lembar diantaranya, bahkan telah sempat dilumuri cat warna biru. Tapi, persoalan biaya lagi-lagi harus menjadi kendala untuk merampungkan proses pengecatan dinding rumah berukuran mungil sederhana ini.
Sementara, sumur yang sehari-harinya dijadikan sebagai sumber air bersih untuk memenuhi kebutuhan vital keluarga ini hanya tampak dipagari dengan dua buah ban mobil bekas. Kemudian disampingnya, terlihat pula sebuah dudukan wc tanpa dinding, beralaskan lantai semen yang tampak mulai mengalami keretakan di sana-sini.
Di atas lantai semen tanpa dinding ini pula, sang penghuni rumah meletakkan ember, dan baskom yang akan mereka gunakan dalam menyelesaikan pekerjaannya, baik mencuci pakaian, maupun mencuci piring dengan dukungan rak piring berbahan baku papan bekas seadanya.
Potret kemiskinan semakin lengkap terlihat dari tali jemuran yang menggelantung di samping kiri-kanan rumah, selain juga terlihat sebuah rak sepatu yang lagi-lagi dibuat pemiliknya dari bahan baku papan bekas.
Syukur-syukur, masih terdapat beberapa pot tanaman berisi bunga segar yang sedikit mengurangi nuansa ke kumuhan di sekitar areal pekarangan rumah ini. Sedangkan, ruang tamu harus difungsi gandakan sebagai kamar tidur, dan ruang makan.
Bahkan, anggota keluarga di rumah ini terkadang harus tidur melantai di ruang tamu dengan menggunakan alas tikar seadanya untuk menghindari pengaruh resapan dingin lantai.
Kondisi yang tak jauh berbeda, juga sangat kontras terlihat pada bagian ruang tengah rumah yang juga ikut difungsi gandakan sebagai ruang nonton keluarga, dapur, dan tempat meletakkan dua buah tempat tidur, yang salah satu diantaranya, hanya ditutupi oleh selembar papan bekas.
Himpitan ekonomi dan kemiskinan, bahkan tak pernah dirasakan keluarga ini sebagai sebuah bentuk kekurangan. Karena satu hal yang pasti, bahwa roda kehidupan masih sangat panjang dan harus tetap berlanjut.
Berangkat dari motivasi ini, seusai melakukan tugas rutinnya sebagai seorang petugas penyapu jalanan, Elias tak jarang terlihat ikut nangkring di pangkalan becak yang banyak dilalui para pejalan kaki, semisal, di areal pasar TPI Bonehalang, Tribun Lapangan Pemuda Benteng, dan kompleks ex. pasar sentral lama Benteng, yang kini tinggal menyisakan puing-puing.
Dalam penuturannya kepada wartawan, Elias Idris (40 thn) mengakui, untuk seharinya, dia bisa mengumpulkan uang tambahan sampai dua puluh ribu rupiah yang diperoleh dari profesi sampingannya sebagai penggayuh becak keliling kota Benteng.
Beruntung, ekonomi keluarganya masih dapat ditopang oleh penghasilan, Bau Isa (45 thn), istrinya yang sehari-hari bekerja sebagai buruh cuci di rumah salah seorang perwira polisi di daerah ini dengan upah seratus lima puluh ribu rupiah perbulan.
Baru belakangan ini, Bau Isa resmi bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga, tentu dengan upah tiga ratus ribu rupiah perbulan. Upah yang sedikit lebih tinggi dari penghasilannya sebagai seorang buruh cuci. Kendati, dia harus meninggalkan rumah, sejak dari pagi sampai pada pukul 21.00 WITA, kenangnya kepada wartawan media ini. (*)
1 komentar:
kebutuhan semakin meningkat sedangkan alat untuk memenuhi kebutuhan terbatas...
maka sebagai umat manusia yang serba kekurangan kita harus bisa membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan
Posting Komentar