Kepergian HM Syukri Burhan untuk
selama-lamanya dalam usia 58 tahun pada Sabtu (28/1) pukul 01.20 WIB,
mengejutkan dan terasa begitu mendadak, di tengah semangatnya sebagai Pemimpin
Umum Harian Pos Kota untuk mendinamisir iklim kerja melalui berbagai perubahan
akhir-akhir ini.
Pak Syukri demikian almarhum akrab disapa di lingkungan
karyawan grup Pos Kota siapa menyangka
akan pergi secepat ini kalau melihat postur tubuhnya yang subur dan segar.
Sehingga ketika Sabtu dini hari, kabar duka itu datang melalui pesan singkat di
telepon genggam, sesaat tak percaya.
Kenangan akan kepribadian dan
pembawaannya yang kalem, serta merta melintas dalam benak kami. Rasanya seperti
baru kemarin kita bersendau gurau di ruang kerjanya di lantai 2 kantor Gedung
Pos Kota Jalan Gajah Mada 100, Jakarta Barat.
Pak Syukri adalah wartawan yang
menggeluti dan meniti karir profesi jurnalis di Pos Kota sejak 1 November
1974. Pembawaan kesehariannya yang kalem
dan tenang, adalah salah satu kepribadian yang memudahkannya bergaul dengan
siapa saja. K
Kepribadian yang tak sekadar mebuat
mudah bagi kami para wartawan yunior tapi juga nyaman. Hal yang sungguh dibutuhkan para wartawan
muda di Pos Kota di tengah suasana serba ketergesaan dan tekanan tenggat waktu dalam
kerja jurnalistik.
Ketika Pak Syukri masih menjabat
sebagai Redaktur Pelaksana Harian Pos Kota, beberapa wartawan dapat merasakan
kenyamanan komunikasi itu. “Aspiratif terhadap bawahan,” komentar beberapa
jurnalis muda saat itu.
“Ada persoalan apa? Tak ada masalah yang tidak
bisa diatasi, deh …” begitu kalimat pembuka setiap kali menerima kami yang
ingin menemuinya di ruang kerja. Kalimat yang tentu saja membuat kami merasa
lebih leluasa mengungkapan persoalan apa saja.
Di lingkungan wartawan liputan
bidang kriminalitas misalnya, Pak Syukri piawai memotivasi agar kami terus
mempertahankan militansi dan totalitas kerja.
Pesannya itu hampir selalu terselip dalam rapat-rapat formal redaksi
maupun informal.
Cara penyampaian yang kalem,
bahkan hati-hati dalam memilih kata, “gaya
Jawa” sebutan kami, padahal almarhum
kelahiran Palembang – membuat sebuah instruksi seolah bukan instruksi. Bahkan
dalam percakapan di udara melalui handie talky (HT) pada tahun 1982, Pak Syukri
yang menggunakan kode panggilan “Gajah-3”, tak bisa menghilangkan gaya
kalemnya.
(Pada tahun 80-an semua wartawan
Pos Kota memang dibekali HT untuk memudahkan dan mempercepat komunikasi liputan
berita). “Gama 1, 10.2 (posisi, Red)?” panggilnya pada suatu malam melalui HT. (Gama-1 adalah
kode panggil untuk koordinator liputan berita kriminalitas Pos Kota).
“Lingkar badai di Selatan, Pak…” jawab saya.
“Bisa 10.8 (meluncur, Red) warung sate Gunung Sahari?
Ajak teman-teman Gama yang lain ya …” Maka kamipun para “wartawan kriminal”
ramai-ramai meluncur melewatkan malam dengan menyantap sate dan sup kegemaran
almarhum ditingkahi senda gurau dan tawa lepas kami. Keakraban yang membuat hubungan pimpinan bawahan seolah tanpa jarak lagi.
Dalam menanggapi beragam keinginan
para wartawan, Pak Syukri juga tipikal pepimpin yang sulit menjawab dengan
menggunakan kata “tidak”. Sepanjang keinginan itu logis dan realistis, hampir
pasti Pak Syukri meluluskan usulan-usulan kami.
Pada tahun 1987 contohnya, ada
salah seorang wartawan yunior mengajukan rencana liputan investigasi dengan
biaya relatif besar dan mengharuskan sang wartawan tidak masuk kantor selama 2
bulan.
Setelah membaca term of reference
(TOR) atau rancangan liputan selidik itu, Pak Syukri tersenyum, seraya
“menuntut” jaminan berhasil dengan pertanyaan, “Hasilnya pasti oke kan?”
Begitulah. Tak bertele-tele, simpel, praktis dan
cepat.
Iklim kerja keredaksian yang
dibangun dengan kepemimpinan yang kalem, ini ternyata tak mengurangi dinamika
kerja wartawan. Walhasil dalam beberapa hal malah membuat wartawan muda Pos Kota
kala itu diam-diam berlomba-lomba unjuk
vitalitas kerja dengan membuat liputan terbaik.
Ketika karir Pak Syukri terus
menanjak dari redaktur pelaksana kemudian dipercaya menduduki kursi pemimpin
redaksi, dan akhirnya sebagai pemimpin umum, keakrabannya dengan wartawan tak
berubah.
Hanya kami para yunior yang
kemudian memilih membatasi diri saat berada di kantor, tapi di luar jam kantor,
Pak Syukri tetaplah senior, sahabat, motivator andal kami hingga pekan-pekan
sebelum akhirnya jatuh sakit.
Kepergian Pak Syukri untuk
memenuhi panggilan Sang Khalik, tentu saja merupakan kehilangan besar kami,
segenap wartawan dan karyawan Pos Kota. Terlebih banyak dari kami yang tak tahu
persis apa sakit Pak Syukri, karena agaknya begitulah wartawan, cenderung “abai”
dengan sakit.
Malas ke dokter, merasa
benar-benar sakit kalau badan sudah tak mampu bangun dari tempat tidur. Lima
bulan lalu saat gula darahnya tiba-tiba naik hingga 400 yang membuatnya harus
dirawat di RS di Jatinegara, Jakarta Timur, Pak Syukri terkesan tenang-tenang
saja.
Sekeluar dari RS dua minggu
kemudian, Pak Syukri langsung pun ngantor. Aktif kerja lagi. Agaknya itu pula
yang mengakibatkan mendadak pada Desember 2011 dirawat lagi di Tangerang, kali
ini karena tekanan darahnya yang terus meninggi.
Karena kondisinya terus memburuk,
keluarga memidahkannya ke RSCM. Namun, belum genap dua pekan, Pak Syukri
meninggal dengan tenang, dengan dihantar doa keluarga dan kerabat dekat yang
mengelilinginya.
Selamat jalan, Kakanda …
Beristirahatlah dengan tenang di tempat yang paling dimuliakan oleh-Nya. (dar)