Desa Bontomarannu, Kecamatan Bontomanai, Kabupaten Kepulauan Selayar, ternyata tidak hanya banyak menyisakan catatan sejarah perjuangan perebutan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI, Red) dari tangan penjajah.
Akan tetapi, wilayah yang dinakhodai Mappa Boererah ini ternyata juga sangat banyak menyisakan catatan sejarah mengenai penyebaran syariat Islam pertama yang diawali dari pintu pantai timur, Dusun Gantarang Lalang Bata, tempat berlabuhnya kapal milik Datu Ri Bandang.
Saat pertama kali menapakkan kakinya di Bumi Gantarang Lalang Bata, Datu Ri Bandang langsung melakukan misi pengislaman di tengah-tengah masyarakat Kabupaten Kepulauan Selayar dan sekitarnya.
Pada masa itu, Datu Ri Bandang mengawali langkahnya dengan terlebih dahulu memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang maksud kedatangannya ke Kabupaten Kepulauan Selayar, sebagaimana yang ditirukan salah seorang pelaku sejarah di wilayah Desa Bontomarannu, Baho Dg. Sitojeng berikut ini, “Nia’ma’ anne Battu Ri Gowa, Lampassalangngi, Tau Ri Gantarang, Nala Sunnako, Potong Gigi, Potong Rambut dengan melafadzkan dua kalimat syahadat, Ashadu Allah Ilaha Illallah, Wa’as Hadu Anna Muhammadarrasulullah”.
Setelah melakukan pengislaman pertama kali di Bumi Gantarang, Datu Ri Bandang langsung meminta salah seorang anak yang telah disunat untuk sejenak menunduk dan melihat alat kelaminnya yang telah dipotong, sembari bertanya kepada sang anak, sakit ???, ujar Datu Ri Bandang yang ditimpali anak tersebut dengan jawaban singkat, tidak.
Usai dijawab oleh sang anak, Datu Ri Bandang menjelaskan, bahwa kegiatan penyunatan adalah simbol pertama masuknya Agama Islam ke Kabupaten Kepulauan Selayar, secara resmi. Untuk selanjutnya, dari Dusun Gantarang Lalang Bata, Datu Ri Bandang bergerak menuju ke daerah-daerah terpencil lain di Kabupaten Kepulauan Selayar dengan membawa misi pengislaman yang oleh masyarakat lokal di Desa Bontomarannu kerap diistilahkan dengan “Silamong”.
Dalam perjalanannya itulah, Datu Ri Bandang bersama Sultan Raja Dg. Pangali’ singgah beristrahat di Dusun Cinimabela yang merupakan pemaknaan dari tempat Pa’bela-Belaang, atau tempat beristrahatnya, para tokoh alim ulama penyebar syariat Islam pertama di Kabupaten Kepulauan Selayar.
Bersamaan dengan kedatangan Datu Ri Bandang dan Sulta Raja Dg. Pangali ke kabupaten di ujung selatan Provinsi Sulawesi-Selatan ini, Ummat Islam di Kabuten Kepulauan Selayar pun, mulai dikenalkan pada sebuah pepatah yang berbunyi, Dato Bandang, Wa Dato Tiro, Mangkasaria.
Pepatah inilah yang kemudian mengilhami mulai dilestarikannya tradisi rate’ di hampir seluruh penjuru Bumi Tanadoang, baik Rate’ Juma (Rate’nya Nabi Adam AS), Rate Maulid (Rate’nya, Baginda Nabi Besar Muhammad SAW), dan Rate’ Sanneng (Rate’nya Allah SWT).
Bahkan dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, lahir pula istilah tingkasa yang salah satu diantaranya berbunyi : Bonto Bangung Tani Beta, Tani Sauru Janganna, Pammottokinna Kala Sa’ramu Dallea. Disusul kemudian, dengan lahirnya tingkasa berbunyi : Balang Butung, Buki Tonja, Dg. Lempangang Kala Sa’ramu Dallea. Berikutnya, kembali muncul tingkasa berbunyi : Balang Butung, Buki Tonja, Balang Buki, Buki Tonja, Na Dg. Lempangang Gowaja Lappassanderi.
Tingkasa terakhir ini bermakna, Balang Butung dan Buki merupakan satu kesatuan wilayah yang tidak dapat terpisahkan antara satu sama lain. Sementara kalimat Na Dg. Lempangang Gowaja Lappassanderi bermakna, kedua wilayah tersebut di atas, yakni Balang Butung dan Buki, terkesan menyegani Kabupaten Gowa, sebagai daerah asal Sultan Raja Dg. Pangali, jelas Kepala Dusun Bontomarannu Baho Dg. Sitojeng, yang sekaligus adalah saksi sejarah di wilayah tersebut.
Berangkat dari tingkasa terakhir ini pula, masyarakat Kohala sempat mengajukan keberatan kepada Pemerintah kabupaten Kepulauan Selayar, saat mereka akan dipisahkan dengan wilayah Balang Butung yang awal mulanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisakan dari Desa Buki lama.
Lebih jauh Baho menjelaskan, keberadaan Dusun Gantarang Lalang Bata sebagai kawasan penyebaran syariat Islam pertama di Kabupaten Kepulauan Selayar dapat dibuktikan dengan keberadaan mimbar warisan leluhur, beralaskan selembar kain putih, di Masjid Babul Khaer, Desa Bontomarannu.
Mimbar serupa juga dapat dijumpai di Masjid Babul Jannah, Dusun Gollek, Desa Bontomarannu yang masih komplit dengan beduk atau yang dalam dialek Bahasa Selayar kerap disebut Tumba, berikut pemukulnya.
Beduk biasanya ditabuh sebagai simbol akan segera masuknya waktu shalat. Terkhusus pada hari Jumat, beduk biasanya ditabuh sebanyak dua kali. Tabuhan berkali-kali menandakan panggilan shalat untuk masyarakat muslim, sedang tabuhan yang berulang sampai empat kali menyimbolkan akan segera masuknya waktu shalat Jum’at yang beberapa menit kemudian akan disusul suara adzan, cetusnya di akhir perbincangan dengan wartawan. (*)